Al Lajnah ad Dâimah lil Buḥuts wa al Iftâ` (اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ لِلْبُحُوْثِ وَالْإِفْتَاءِ, Tim Tetap untuk Penelitian dan Fatwa, MUI-nya Saudi Arabia) adalah salah satu tim riset ilmiah yang diakui di masa kini. Tim ini berisi para ulama senior Saudi Arabia, yang salah satu aktifitasnya adalah mengeluarkan fatwa-fatwa terkait seluruh bidang kehidupan (akidah, fikih, dan lainnya). Anggota tim ini kadang berganti-ganti (misalnya karena ada yang wafat), dan pastinya fatwa-fatwa mereka tidak selalu ditandatangani oleh ulama-ulama yang sama.
Fatwa-fatwa dari Lajnah Daimah ini telah dikompilasi dan diterbitkan oleh Syaikh Ahmad bin Abdurrazzaq` ad Duwaisy, dan menjadi salah satu referensi terpenting dalam permasalahan agama secara umum maupun permasalahan kontemporer. Kemudian, Syaikh Walid bin Rasyid as Sa’idan merangkum beberapa bab dari kompilasi tersebut, termasuk Bab Akikah.
Bab Ilmu inilah yang saya terjemahkan -terlepas barangkali nanti ada persoalan yang saya mengikuti fatwa dari ulama lainnya- sebagai acuan dasar dalam beramal bagi yang belum sempat mempelajari detailnya. Untuk detail dalil dan keterangan fatwa-fatwa tersebut bisa kamu tanyakan di kolom komentar, membaca fatwa aslinya (versi bukan rangkuman), atau menanyakannya kepada ustadz yang bisa dipercaya keilmuannya; agar tidak sekedar taklid buta.
Setiap redaksi “mereka berfatwa” atau sejenis itu, maksudnya adalah “para ulama yang tergabung di Lajnah Daimah”. Dan inilah terjemahan rangkuman fatwa Lajnah Daimah tentang akikah:
1. Mereka memfatwakan bahwasanya hukum akikah adalah sunnah muakkadah
2. Mereka memfatwakan bagwa bayi laki-laki diakikahi dengan dua ekor kambing, dan bayi perempuan dengan seekor kambung
3. Mereka memfatwakan bahwa ayah mengakikahi anaknya kapanpun dia mampu, biarpun sudah setahun atau lebih
4. Mereka memfatwakan bahwa yang paling utama adalah menyembelih akikah di hari ketujuh; dia boleh untuk mengakhirkannya, dan tidak ada dosa baginya karena hukumnya sunnah (tidak wajib)
5. Para ulama yang mulia ini memfatwakan bahwa akikah tidak boleh dijadikan alat seseorang untuk menjaga hartanya. Misalnya adalah menyembelih kambing akikah untuk tamu yang berkunjung (tamu yang bukan sebagai undangan akikah, agar tidak usah mengeluarkan uang lagi untuk menjamu tamu), dan semisalnya
6. Mereka memfatwakan boleh untuk membagikan daging akikah dalam keadaan mentah ataupun matang
7. Mereka memfatwakan boleh untuk berkumpul dan menampakkan kegembiraan serta kesenangan pada hari penyembelihan akikah
8. Mereka memfatwakan disyariatkan akikah untuk bayi yang lahir di usia 6 bulan kandungan dalam keadaan hidup, yang meninggal pada hari kelahirannya
9. Mereka memfatwakan tidak ada akikah untuk janin yang mengalami keguguran sebelum ruh ditiupkan
10. Mereka memfatwakan bahwa jika ayah kesulitan untuk melaksanakan akikah, maka ibu boleh melaksanakan akikah untuk anaknya
11. Mereka memfatwakan bahwa menyedekahkan harta tidak bisa menggantikan penyembelihan akikah
12. Mereka memfatwakan bahwa boleh menamai anak di hari kelahirannya atau di hari ketujuh, urusan ini luwes
13. Mereka memfatwakan boleh menamai anak dengan nama seperti bapaknya misalnya Sarhan (bin) Sarhan dan semisalnya, dan itu sama saja antara bapaknya masih hidup atau sudah meninggal
14. Mereka memfaktorkan bahwa menamai ‘Âsyiqullah (عاشقُ اللهِ / yang rindu kepada Allah) termasuk adab yang buruk, maka tidak boleh
15. Mereka memfatwakan boleh menamai Muḥibbullâh (مُحِبُّ اللهِ / yang mencintai Allah), tetapi yang lebih utama adalah tidak melakukannya
16. Mereka memfatwakan bahwa tidak ada tempat khusus untuk menamai anak, urusan dalam hal ini luas
17. Mereka memfatwakan bahwa Fadhil (الفضيل / yang memiliki keutamaan) tidak termasuk nama Allah karena tidak ada dalilnya maka tidak boleh menamai anak Abdul Fadhil
18. Mereka memfatwakan tidak boleh memberi nama “hamba” untuk selain hamba Allah. Misalnya adalah hamba Rasul (عَبْدُ الرَّسُوْلِ / ‘Abdurrasûl), hamba Ka’bah, hambanya Imam, hambanya Ali, hambanya Husain, hambanya (Fatimah) az Zahra` (غُلامُ الزَّهْرَاءِ), budaknya Ahmad (غُلامُ أَحْمَدَ), budaknya, Mustofa dan yang semisalnya
19. Mereka manfaat makan boleh menamai Khalid (خَالِدٌ / yang abadi) karena keabadian di sini adalah keabadian relatif, juga karena Rasulullah ﷺ mengakui penamaan ini (tidak merubah nama sahabat Khalid bin Walid)
20. Mereka membolehkan penamaan Huda (هُدًى / petunjuk) dan Iman (إِيْمانٌ / iman) karena tidak ada larangan dalam hal ini secara syar’i
21. Mereka memfatwakan boleh menamai Ḥusâmullâh (حُسامُ اللهِ / pedang Allah)
22. Mereka memfatwakan tidak masalah menamai ‘Abdul Muttalib (عَبْدُ الْمُطَّلِبِ / hambanya Muttalib) karena Nabi ﷺ mengakui (men-taqrîr) nama sepupu beliau Abdul Muttalib bin Rabi’ah, dan tidak merubahnya. Maka nama ini saja yang dikecualikan dari ijmak tentang pengharamannya (penggunaan nama hamba selain untuk hamba Allah).
(Sebelum itu, dahulu kakek Rasulullah ﷺ bernama Syaibah diaku sebagai budak oleh pamannya yaitu Muttalib, sehingga terkenal dengan nama ‘Abdul Muttalib)
23-31. Mereka memfatwakan boleh menamai Abrâr (أَبْرارٌ / orang-orang baik), Hâdî (هَادِي / yang memberi petunjuk), Qismullâh (قِسمُ الله) karena artinya adalah pemberian Allah, Fatḥul Bârî (فَتْحُ الباري / kemudahan dari Sang Pencipta); Basyîr (بَشيرٌ / pemberi kabar gembira), Nadzîr (نذيرٌ / pemberi peringatan), Sirâj (سِراجٌ / pelita), dan Munîr (مُنيرٌ / yang menerangi) karena tidak ada larangan secara syar’i-nya; Raqîb (رَقيبٌ / penjaga), Khalafullâh (خَلَفُ اللهِ) karena maksudnya adalah pemberian Allah, ‘Abdus Syahid (عبدُ الشهيدِ / hamba Allah Yang Maha menyaksikan segala sesuatu), Shakhr (صَخْرٌ / batu besar nan keras – menunjukkan kekuatan)
32. Mereka memfatwakan boleh mengganti nama Fâthimah (فاطمَةُ) menjadi Yusrâ (يُسْرَى / kemudahan)
33. Mereka memfatwakan boleh menamai ‘Aunullâh (عَوْنُ اللهِ / pertolongan Allah)
34. Mereka memfatwakan haram memberi nama ‘Abdul Masîḥ (عبدُ الْمَسِيحِ / hamba al Masih Isa atau Yesus) karena itu adalah penghambaan kepada selain Allah Ta’ala
35. Mereka memfatwakan haram memberi nama Subḥânallâh (سُبحانَ اللهِ / Maha Suci Allah)
36. Mereka memfatwakan tidak harus merubah nama orang kafir yang masuk Islam, kecuali jika namanya dilarang secara syar’i
37. Mereka memfatwakan bahwa al Mu’tanî (الْمُعْتَنِيْ / yang memperhatikan atau mempelihara) tidak termasuk nama-nama Allah, maka tidak boleh menamai dengan ‘Abdul Mu’tanî
38. Mereka memfatwakan haram menasabkan seseorang kepada selain bapaknya dengan sengaja
39. Mereka memfatwakan larangan penamaan Qamarul Anbiyâ` (قَمَرُ الأَنبِياءِ / bulan para nabi)
40. Mereka memfatwakan haram penamaan ‘Abdud Dîn (عبدُ الدِّينِ / hambanya agama).