Ada 3 jenis takbir (Allahu Akbar, Allah Maha Besar) dalam salat, yaitu Takbiratul Ihram (takbir masuk salat), Takbir Intiqal (takbir pindah gerakan), dan Takbir Zawaid (takbir tambahan dalam salat id).
Karena Takbir Zawaid hanya dilakukan ketika salat Id yang hanya terjadi dua kali dalam setahun, maka dalam serial tulisan Ini kita hanya akan membahas tentang Takbiratul Ihram dan Takbir Intiqal.
Tulisan ini saya referensikan -dengan ringkas- dari at Taḥbîr fî Aḥkâm at Takbîr fî ash Shalâh (التحبيرُ في أحكامِ التكبيرِ في الصلاةِ) karya Syaikh Fahd bin Yahya al Ammari, yang berisi 42 pembahasan seputar Takbiratul Ihram dan Takbir Intiqal.
A. HUKUM-HUKUM SEPUTAR TAKBIRATUL IHRAM
1. Takbiratul Ihram adalah takbir pertama untuk membuka dan memasuki salat
Dinamai demikian karena dengan takbir ini hal-hal yang halal di luar salat menjadi haram (seperti makan dan ngobrol).
2. Hukum Takbiratul Ihram
Sebagian ulama Madzhab Hanafi serta para ulama dari Madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa ia adalah rukun salat yang tidak termaafkan dengan lupa.
Adapun ulama Madzhab Hanafi umum berpendapat bahwa ia adalah syarat.
Kedua pendapat ini tidak bertentangan, mereka sama-sama mengatakan bahwa salat tidak sah tanpanya. Rasulullah ﷺ bersabda:
تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam” (HSR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
3. Hukum Jika Lupa Tidak Melakukan Takbiratul Ihram
(Hampir) semua ulama berpendapat bahwa salatnya tidak sah, dan inilah pendapat yang kuat berdasarkan pembahasan no. 2. Adapun Imam Sa’id ibnul Musayyib, Hasan al Bashri, az Zuhri, dan al Auza’i berpendapat bahwa ia dicover oleh takbir menuju rukuk.
4. Apakah Boleh dengan Redaksi Selain Allahu Akbar (اللهُ أَكبرُ)?
Mayoritas ulama berpendapat harus dengan Allahu Akbar, dan inilah pendapat yang kuat karena sesuai dengan redaksi takbir yang disebutkan dalam dalil.
Madzhab Hanafi mengatakan dengan nama Allah yang lainnya yang juga menunjukkan pengagungan Allah. Sedangkan Madzah Syafii membolehkan dengan redaksi Allahul Akbar (اللهُ الْأَكْبَرُ).
5. Takbir harus diucapkan sesuai dengan sifat yang disebutkan dalam Hadis, yaitu Allahu Akbar
6. Bolehkah Diganti dengan Terjemahannya dalam Bahasa Asing?
a. Bagi orang yang mampu mengucapkannya dalam Bahasa Arab:
Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh dan tidak sah, karena itu merupakan redaksi ibadah. Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan boleh dan sah, tetapi Imam Ibnu Abidin dan yang lainnya mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah telah rujuk dari pendapat tersebut
b. Bagi orang yang tidak mampu mengucapkannya dalam bahasa Arab karena masalah kemampuan atau karena baru masuk Islam:
Imam Abu Hanifah -dalam pendapat terakhirnya- serta dua murid utama beliau (Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy Syaibani), sebagian ulama Madzhab Maliki, dan Madzhab Syafii serta Hanbali mengatakan: Bertakbir dengan bahasanya. Inilah pendapat yang kuat, sesuai firman Allah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (Surat at Taghabun: 16).
Sementara itu, Madzhab Maliki mengatakan bahwa kewajiban bertakbir telah gugur. Orang tersebut cukup memasuki salat dengan niat, dan makruh bertakbir dengan terjemahan. Adapun menurut sebagian ulama Madhzab Hanbali mengatakan bahwa kewajiban bertakbir telah gugur darinya, tetapi dia tetap harus menggerakkan lidahnya.
7. Jika Terjadi Perubahan Redaksi Takbiratul Ihram
a. Jika berupa kekurangan seperti menguacapkan Allah (tanpa Akbar), maka tidak sah menurut mayoritas ulama
b. Jika berupa kelebihan, seperti Allahu Akbar al Ajall (اللهُ أكبرُ الْأَجَلُّ, Allah Maha Besar dan Maha Agung):
Menurut Madzhab Maliki, Imam Ibnul Humam dari Madzhab Hanafi, Ibnul ‘Arabi dari Madzhab Maliki, dan Imam Ibnul Qayyim dari Madhzab Hanbali hukumnya tidak sah. Inilah pendapat yang rajih karena redaksi ibadah harus sesuai dalil.
Adapun Madhab Hanbali mengatakan makruh, dan sebagian dari mereka mengatakan boleh
c. Merubahnya menjadi Akbar Allah atau Allahu A’zham: Tidak sah, karena redaksi takbir adalah redaksi ibadah yang harus sesuai dalil.
8. Jika Terjadi Perubahan Cara Membaca Takbiratul Ihram
Intinya adalah jika itu tidak merubah makna maka hukumnya makruh, adapun jika merubah makna maka haram. Adapun detailnya
– Memanjangkan ‘hu’ dalam Allahu Akbar: tetap sah karena tidak merubah makna
– Memanjangkan ‘A’ dalam Akbar: tidak sah karena merubah makna ‘Maha Besar’ menjadi ‘Apakah Maha Besar?’
– Memanjangkan ‘ba’ dalam Akbar: tidak sah karena merubah makna
– Membacanya menjadi AllahuWakbar (الله وَكبرُ): makruh dan tetap sah karena tidak merubah makna, dan pergantian hamzah menjadi wawu dalam Akbar -dalam situasi tersebut- bisa dibenarkan dalam bahasa Arab
– Menukar k (ك) menjadi q (ق): Termaafkan bagi orang asing (non Arab), orang yang bicaranya belibet, dan sejenisnya.
9. Imam mengeraskan bacaan Takbiratul Ihram. Adapun makmum dan munfarid (orang yang salat sendiri) membacanya pelan
10. Apakah Makmum dan Munfarid Harus Bertakbir dengan Volume yang Dia Bisa Mendengarnya?
Tidak harus, karena yang wajib adalah mengucapkannya. Sedangkan memperdengarkan pada diri sendiri adalah hal lain yang butuh dalil tersendiri -dan tidak ada dalilnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyyah.
Sementara itu, sebagian ulama lain mengatakan harus.
11. Apa yang Harus Dilakukan Orang Bisu atau yang Lidahnya Terpotong?
Mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa ia cukup bertakbir dalam hati, dan tidak usah menggerakkan lidah. ini adalah pendapat yang kuat, karena tidak ada faedah dari pergerakan lidahnya. Adapun Madzhab Syafii dan sebagian ulama Madzhab Hambali mengatakan harus menggerakkan lidahnya (secara simbolis).
12. Mengulangi Takbiratul Ihram
Sengaja mengulang Takbiratul Ihram -meskipun tidak dianjurkan- tidaklah membatalkan salat. Ini adalah pendapat Madzhab Syafii, dan merupakan pendapat yang kuat. Alasannya adalah karena mengulang rukun yang berupa ucapan tidak membatalkan salat.
Dan jika ini dilakukan oleh orang yang sedang mengalami waswas (terus khawatir salatnya tidak sah jika makhraj hurufnya meleset sedikit saja):
– Mengulang-ulang redaksi Allahu Akbar: tidak disalahkan. Sebab, ia seperti orang yang terpaksa
– Mengulang-ulang huruf tertentu seperti mengucapkan A-a-a-allahu Akbar: juga tidak disalahkan.
13. Hukum Mengangkat Tangan Ketika Takbiratul Ihram
Hukumnya sunnah, ada yang mengklaim bahwa seluruh ulama menyepakati pendapat ini. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Fahd al Ammari karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkannya.
Adapun Imam Auza’i, Humaidi, Ibnu Khuzaimah, Dawud azh Zhahiri, sebagian ulama Madzhab Maliki dan Syafii mengatakan wajib. Imam Abu Hanifah juga disebut berpendapat demikian.
14. Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Semua ulama yang disebut berpendapat wajib (mengangkat tangan saat Takbiratul Ihram) tidak mengatakan ‘salat batal jika tidak melakukannya’, kecuali pada riwayat dari Imam Auza’i dan Humaidi”.
Sementara sampai di faidah ke-14 ini, agar tidak membosankan. Faidah-faidah selanjutnya akan disampaikan di Bagian Kedua dan Bagian Ketiga.
1 comment
[…] Posts 42 Faidah Seputar Takbir dalam Salat (Bagian Kedua) 42 Faidah Seputar Takbir dalam Salat (Bagian Pertama) 10 Jenis Pembukaan Surat-surat Quran (Bagian Ketiga, terakhir) 10 Jenis Pembukaan Surat-surat […]